Rabu, 30 Januari 2013

Siapa kamu?



            Senja tak mengizinkanku terlelap lagi. Aku dibiarkan sendiri bersama bayanganmu yang masih membekas dan terbawa ke dunia nyata setelah aku bermimpi, lagi – lagi tentangmu. Masih tentang kamu. Bagaimana mungkin kamu selalu datang membajak duniaku seperti perompak yang ingin berkuasa dan bertahta disana? Tak bisakah kamu hanya pergi dan membiarkanku hidup dengan tenang tanpa rasa ingin memiliki dan rindu yang terlalu dalam? Kamu keterlaluan, sayang. Kamu sama sekali tak memberi celah agar aku dapat menemukan cara untuk melupakanmu. Kamu egois, sayang. Kamu menempati seluruh ruang yang kupunya. Bahkan saat aku menutup dan membuka mata, hanya ada kamu yang terlihat disana.
            Harusnya aku tak membiarkan semua ini berlarut – larut. Tapi nyatanya aku sendiri sedang menghalangi takdir yang mencoba menjauhkanmu dari pelukan lenganku. Aku sedang menentang takdir untuk dapat terus menggenggammu. Salahkah? Salahkah aku? Rasanya tak dapat lagi kuhitung berapa kali aku berkata akan melupakanmu, tapi aku dengan gontai membiarkan impuls neuron di otakku bekerja hanya untuk mengingat dan memikirkanmu. Aku selalu mencoba dan memaksa diri mengontrol perasaanku, tapi nadi arteri karotisku selalu menegang saat aku menatap dalam matamu. Jantungku memompa aliran darah lebih cepat saat aku mendengar namamu. Apa itu salah?
 Siapa kamu? kamu dengan berani menguasai seluruh hati dan pikiranku tanpa sisa. Siapa kamu? Kamu dengan lancang datang merasuk sebagai bayangan, lalu enggan pergi dan  memaksaku hidup dalam kenangan. Bahkan Tuhan sudah membuat empat lobus hati dalam tubuhku, tapi kamu terlalu serakah untuk menjadikan semuanya sebagai tempat tinggalmu. Lalu, siapa kamu?
Kumohon pergilah, Tuan. Pergi dari hati dan otakku ! biarkan aku memberikan hati ini kepada seseorang yang rela membagi seluruh kasihnya untukku. Tak peduli seberapa dalam aku mencintaimu, tak peduli seberapa lekat kamu tersemat dihatiku, kenyataannya kamu sudah tak benar – benar menatapku. Dalam nyata, kamu bukan lagi milikku. Dan pertanyaan, “Siapa kamu?” Kurasa sekarang aku tahu jawabannya. Kamu adalah kenangan. Kenangan yang masih tersimpan amat dalam.

Sabtu, 26 Januari 2013

Andai Bisa, Sekali lagi...



            Seorang gadis remaja tampak gelisah menatap layar handphone nya. Gadis berperawakan tinggi langsing dengan kulit putih pucat dan mata kecokelatan itu menyisir pandangannya ke segala arah, seperti mencari – cari keberadaan seseorang. Dirinya semakin gelisah karena orang yang dicarinya tak juga muncul. Aura Frederich. Ya, itu namanya. Gadis indo campuran antara jawa dan belanda ini biasa dipanggil dengan nama Ara oleh teman – temannya. Ara baru saja membuka akun media sosialnya dan muncul nama seseorang di timeline nya. Status akun sosial orang itu membuatnya khawatir, jantungnya berdetak cepat dan otaknya kacau. Satu – satunya yang ia inginkan saat ini adalah bertemu orang itu. Memastikan dia baik – baik saja.
             Kemudian Ara memutuskan untuk naik ke atap puncak gedung, tempat favoritnya untuk melepas penat ketika seharian berada di kampus. Mungkin dari ketinggian itu dia bisa menemukan Bian. Ternyata Ara secara diam – diam masih menyayangi Bian. Ara masih peduli tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan Bian, pemuda bermata sipit dan berkacamata yang menguasai seluruh hati Ara. Ternyata perpisahan tak pernah menjamin seseorang akan benar – benar melupakan. Ara menaiki lift hingga sampai dipuncak gedung, dan betapa terkejutnya ia ketika melihat Bian sedang berdiri disana. Bian berdiri memunggungi Ara menghadap ke bukit – bukit yang jauh, namun terlihat dari tempat mereka sekarang. Cuaca sore yang sedikit mendung membuat udara menjadi dingin.
“Kamu kenapa?”, Ara langsung melontarkan pertanyaan yang sejak daritadi ditahannya bersama perasaan panik.
Bian kaget mendengar suara yang sudah sangat dikenalinya itu. Dia menoleh dan melihat Ara berjalan mendekatinya. “Aku gapapa kok, Ra.”, katanya setelah Ara berdiri disebelahnya.
Ara melihat orang – orang dan mobil – mobil yang hilir mudik di area kampus dari atas. Dia tak berani menatap wajah Bian. Ia takut detak jantungnya semakin tak terkendali. “Lalu statusmu di akun sosial? Jadi gapapa?”
“Udah gapapa sih, tenang aja.”
“Emang tadinya kenapa?”
“Udah gapapa, Syukurlah Tuhan masih sayang.”, Bian menjawab sekenanya sambil tersenyum.
“Iya tapi tadi kenapa? Cerita dong..”, Ara yang merasa tidak puas dengan jawaban Bian kembali mencecar pertanyaan.
“Boleh cerita nih?”, Bian balik bertanya.
“Kok sampai minta diselamatkan hidupnya? Dalam bahaya kah?”, Ara langsung bertanya to the point karena tidak sabar.
“Plis tapi jangan cerita sama orang lain.”, Bian memohon dengan aneh. Membuat Ara berpikir kejadian yang menimpanya itu berhubungan dengan ‘aib’.
“Iya iya..aku cuma pengen tahu biar gak kepikiran.”, Ara mencoba jujur bahwa dirinya khawatir pada Bian.
Bian senyum – senyum sendiri melihat Ara terlalu menanggapi serius perkataannya dan terutama statusnya di media sosial itu. Bian mulai bercerita dengan bahasa yang sedikit mengundang tawa Ara.
“Hari ini, hari dimana mama ingin pergi belanja. Aku disuruh nemenin. Berhubung sudah lama gak naik mobil, mama gak percaya buat disopirin. Jadi minta tolong sama temen mama, sebut saja namanya ibu bunga.”
Tawa Ara hampir saja pecah mendengar awal cerita Bian, tapi Ara berusaha keras menahannya sampai Bian mengakhiri ceritanya. Bian melanjutkan ceritanya lagi.
“Singkat cerita kami sampai ditempat belanja dengan selamat, tidak ada yang aneh. Disingkat cerita lagi, belanjanya selesai dan kami berencana pulang, dan gak kusangka ini menjadi kisah yang berbeda.”, Bian bercerita dengan nada berlebihan yang membuat Ara senyum – senyum.
“Ibu bunga ini tiba – tiba menyetir dengan ganas, suka ngerem mendadak, nyetir zig-zag, diklaksonin orang sekota jakarta, bis kota sampai ngalah. Gila ! Nyetirnya cuman 40 km/jam sudah bisa buat aku dag dig dug der kayak mau ketemu kamu.”
Deg. Jantung Ara rasanya sempat berhenti beberapa detik mendengar kalimat Bian barusan. “dag dig dug der kayak mau ketemu aku?”, tanya Ara dalam hati. Tapi Ara berusaha tak menyela cerita Bian dan pura – pura tidak menunjukkan reaksi. Ia hanya diam dan terus menyimak Bian.
“Kamu tahu sendiri aku ngebut sampai kecepatan 120 plus plus juga gak masalah. Tapi sama ibu bunga ini saya tak mampu. Jadi saya berdoa di akun sosial saya agar banyak orang yg meng-amin-i. Dan Alhamdulillah selamat sampai rumah. The End. Any question ?”, Bian mengakhiri ceritanya.
Ara yang sedari tadi berusaha menahan tawa, langsung terpingkal – pingkal sambil memegangi perutnya yang mulai kram. Gaya bicara Bian ketika bercerita tadi membuatnya merasa itu sangat lucu. Bian memang pandai membuatnya bahagia. Membuat Ara tertawa dan tersenyum ketia ia bahkan sama sekali sedang tak ingin melakukannya, itulah satu – satunya yang tak bisa dilakukan cowok lain selain Bian.
“Cuma 40 kilometer per jam tapi kok jadi menegangkan gitu? Ibu bunga gak bisa nyetir? Apa yang terjadi dengan Ibu bunga sampai nyetirnya kayak gitu? Mohon dijawab.”, Ara bertanya mengikuti gaya bahasa Bian dengan tampang sok serius.
“Bis kota Jakarta adalah raja jalanan, dan dia mengalah. Sudah dapat disimpulkan seseram apa ? Saya juga gak ngerti kenapa ibu itu panik, bahkan saya harus menjadi navigator dadakan, karena ibu itu tiba - tiba blank arah jalan pulang.”
Pembicaraan mereka mulai terdengar sedikit aneh karena menggunakan bahasa yang formal. Tidak seperti biasanya, ini benar – benar terdengar lucu. Tapi tidak ada diantara mereka yang protes. Malahan mereka melanjutkan percakapan dengan gaya bahasa yang sama.
“Berhubung saya orang kampung yang jarang memerhatikan bis kota Jakarta dijalanan,  jadi membayangkannya saja saya belum bisa.”, Kata Ara menimpali.
“Mungkin dia sudah mulai grogi saat parkir awal ditempat belanja, karena mobilnya maju sendiri di jalanan menurun, dan saya harus menghentikan mobil dengan rem tangan. Padahal saya berada dibelakang sopir. Seremnya bis kota bisa dibayangkan ketika saya menjadi ganas dengan muka mesum, dan itu masih kurang serem.”
“Wow ! Berarti sudah bisa disimpulkan bahwa kejadian tadi sangat menyeramkan dan menegangkan.”, Ara merespon sambil tertawa terbahak – bahak. “Lalu kenapa cerita ini harus dirahasiakan? Saya pikir kejadian yang anda alami tadi tidak menyangkut aib pribadi.”
“Kan ini menyangkut aibnya ibu bunga.”, Bian juga ikut tertawa ketika menjawabnya.
“Boleh tanya lagi?”,  kali ini Ara mulai merubah nada bicaranya sedikit serius.
“Boleh.”, raut wajah Bian juga berubah.
“Apakah benar kejadian tadi bikin dag dig dug der kayak mau ketemu aku? Seseram itukah aku?”, Ara mulai bertanya tentang kata – kata Bian yang sebenarnya berkelumit diotaknya sejak tadi.
“Oh, aku ngomong gitu ya?”, Kata Bian dengan tampang pura – pura bodoh. “Gapapa kok, bukan karena serem.”
“He'eh..tadi kamu ngomong gitu. Bukan karena serem? Lalu?”, Ara mulai bergetar. Ia merasakan darahnya mengalir lebih cepat. Bagaimana kalau Bian bilang dia masih sayang aku? Tapi bukankah itu yang aku harapkan?, pertanyaan – pertanyaan itu berputar dalam pikirannya.
“Oh, mungkin aku gak sengaja ngomong kayak gitu tadi.”, Bian berusaha menjelaskan.
“Terus?”, Ara berusaha memancing Bian agar menjelaskan lebih banyak.
“Tapi kok sekarang Ara berani bertanya yah ?”, Bian balik bertanya, membuat Ara tersentak.
“Hah? Memangnya dulu gak berani bertanya ya? Padahal di kelas sering nanya juga, kan.”, Ara bercanda berusaha mengalihkan topik. Tapi kemudian ia berkata lagi dengan lirih, namun masih bisa didengar oleh Bian. “Iya, aku takut. Malu bertanya jadi kehilangan.”
 “Bagus. That's right.”, Kata Bian tersenyum sambil menatap Ara.
Ara menyadari satu kesalahannya saat masih bersama Bian, ia tak pernah bertanya. Ia selalu bungkam dan sibuk dengan spekulasinya sendiri ketika merasa ada masalah antara dirinya dan Bian. Ia tak pernah mengutarakan perasaannya dan tak pernah meminta Bian menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka. Tapi kini Ara sadar, ego dan gengsi hanya akan membuat kita merasa kehilangan, cepat atau lambat.
“Aku merasa belum mendapat jawaban dari pertanyaanku. Jadi seseram itukah aku? Ketemu aku buat kamu terganggu?”, Ara mulai mengembalikan topik yang sempat terlupakan. Berusaha mencari tahu isi hati Bian kepadanya.
“Ketemu kamu gak buat aku terganggu. Yuk pakai bahasa informal”, kata Bian kemudian.
“Oke informal. Terus kalau gak terganggu, apa dong?”, Ara membalas dengan cepat.
“Informal artinya lebih formal loh. Nonformal yg bener.”, Bian menyadari Ara salah mengartikan kata ‘informal’. Lalu tertawa.
Ara yang mulai merasa ia memang salah mengartikan kata ‘informal’ sama dengan ‘nonformal’ hanya bisa ikut tertawa dipaksakan. Padahal sebelumnya dia paham benar arti kedua kata itu. Ya, bian selalu mengacaukan konsentrasinya, bahkan hatinya.
“Jadi mau informal atau nonformal?”, Ara mencoba menetralisir perasaannya.
“Terserah, senyaman kamu.”, jawab Bian.
“Kamu selalu merusak zona fokusku.”, Ara tak sengaja mengatakannya. Dia sempat tercekat tapi mulai berpikir tak ada salahnya mencoba jujur pada perasaan sendiri.
“Kok beda ya, kamu selalu memperbaiki zona gilaku.”
Deg. Apakah itu jawaban tersirat tentang perasaannya padaku? Tidak. Aku tak boleh berharap banyak. Jantung Ara semakin berdebar tak menentu. Ia kehilangan kata – kata namun mencoba bersikap biasa. “Hmmm...? Gimana bisa aku memperbaiki zona gilamu? Aku ngerasa gak pernah ngelakuin apa – apa.”
“Maaf Ra, aku juga gak tahu kenapa.”, Bian memandang Ara dengan raut serius.
“Iya aku maklum. Soalnya aku juga gak pernah tahu kenapa kamu selalu bisa merusak zona fokusku.”
Tiba – tiba Bian membuat seluruh tubuhnya menghadap Ara. “Ara, kamu kok nanya terus sih? Ntar kebablasan jujurku..”, Bian menghentikan kata – katanya.
Jujur? Jujur tentang apa? Jujur kalau ternyata kamu masih menyayangiku? Lagi – lagi Ara sibuk dengan kata hatinya sendiri.
“Dari dulu itu, aku malah pengen tahu kalau kamu jujur itu gimana.”
“kamu gak pernah tanya kan?”
“Oh..harus ditanya dulu ya? Terus baru bisa jujur?”
“Ntar aku dikira gombalin cewek orang.”, kata Bian dengan lesu.
“Haaa?? Tunggu, tunggu. Apa maksudnya cewek orang??”, Ara sedikit shock mendengar pernyataan Bian.
“Ya.. kamu udah punya cowok kan..”, kata Bian ragu – ragu.
“Mampus deh. Kalau gebetan orang, masih bisa dibilang gitu. Gebetan dulu lah ! baru pacaran.”, Ara tertawa.
“Ya udah sana diurusin gebetannya, tapi gebetan atau pacar cukup satu aja. Serem diliatnya kalau banyak.”
“Jangan bilang kayak gitu. Ntar aku nangis.”, Ara pura – pura mengatakannya sambil tertawa. Tapi Bian bisa menangkap jelas kegetirannya.
“Aku salah ngomong ya, Ra ? Sorry..sorry kalau salah ngomong. Udahan aja deh ngobrolnya, ntar daripada keburu netes.”
Ara tak ingin percakapan itu berakhir. Ara terlalu rindu pada Bian. Jadi sebisa mungkin ia kembali tersenyum. Berusaha menyembunyikan luka hatinya karena kata – kata Bian tadi. Bian menyuruhnya mengurusi gebetannya? Bian bahkan tampak biasa saja saat mengatakannya. Tidakkah ia cemburu? Semuanya bergema dalam hati Ara.
“Enggak kok gapapa. Emang salah ya kalau kebanyakan gebetan atau pacar? Terus kamu punya berapa gebetan? Karena aku udah nanya, jadi jawab yang jujur!”, Ara berusaha melanjutkan percakapan.
“Salah lah ! Kamu itu kok bandel. Apalagi kalau dilihat orang kamu nempel – nempel dibanyak cowok, kan gak enak cewek baik kayak kamu kalau salah dinilai orang, sedikit gak terima aja. Emm..aku punya gebetan berapa ? NOL besar !”, Bian mencoba memberi pengertian.
Ara senang Bian mengatakannya, setidaknya ia tahu Bian masih peduli padanya. “nol besar? Harusnya aku yang mengubahnya menjadi satu. Satu – satunya. Selamanya hanya ada aku.”, Ara berdialog sendiri dengan hatinya, sebelum akhirnya angkat bicara.
“Ooohh..aku gak sebaik yang kamu kira loh, Bian. Sebenernya sih awalnya aku nganggep mereka kakak atau teman baik yang mungkin bisa ngejaga aku. Tapi mereka salah tanggap, mungkin gara – gara sikapku yang memang salah, akhirnya kesannya aku memberi mereka harapan lebih. Selalu aja gitu. Karna aku orangnya juga gak enakan sama orang, ya gitu deh. Aku gak berani bikin orang lain sakit hati, jadi aku biarin keadaan seperti itu berlanjut tanpa kejelasan. Lagian gak ada salahnya kan, siapa tahu ada seseorang yang tepat.”, kemudian Ara terdiam sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Aduh, maaf jadi curhat.”, kata Ara begitu tersadar dari lamunannya.
“Lagian gak ada salahnya kan, siapa tahu ada yg tepat.", Bian mengulang kata – kata Ara. “ Itu pikiran yang buat aku jadi playboy dulu. Ya terserah kamu sih kalau kamu mau berubah dari Ara yang aku kagumi, jadi Ara yang aku benci.”, lagi – lagi Bian tersenyum teduh pada Ara. Senyuman yang sanggup menguapkan segala keresahan dan kesedihan Ara. Senyuman terkadang memang bisa menenangkan jika orang yang kita cinta yang melakukannya.
“Gak mau, jangan benci aku. Hal yang paling menyedihkan di dunia ini kan kalo dibenci sama orang yang kita sayang. Jangan. Iya cukup satu. Dan sebenernya memang cuma ada satu gebetan sekarang.”, Ara mulai serak menahan tangis. Ia tak bisa membayangkan jika Bian benar – benar membencinya. Dibenci Bian sama saja kehilangan separuh daya hidupnya.
“Ya gitu. Cukup satu.”, kata Bian datar.
“Iya. Bian, kamu jaga diri ya. Jaga kesehatan. Wish you all the best.”, Ara terus tersenyum menatap Bian.
“Iya Ara, kamu juga yah. Jangan bandel, makan dan istirahat yang cukup.”, Bian membalas menatap dan tersenyum untuk Ara.
“Siap, Bian !”, Ara tersenyum ceria.
Bian memasangkan sebelah headset ditelinganya, lalu sebelahnya lagi ia pasangkan ditelinga Ara. Bian memutar lagu ‘The Way You Look At Me’ – Christian Bautista, lagu yang pernah dinyanyikannya saat membonceng Ara dengan motornya. Mereka berdua berdiri berdampingan sambil menatap jauh ke bukit dan pegunugan dibalik gedung – gedung dan bangunan tinggi itu. Ara seperti terhempas ke masa lalu. Hatinya masih milik Bian. Tak pernah terkikis waktu dan tak mungkin bisa dihentikan.
Meskipun ia tak pernah paham dan tak pernah mendapat kejelasan tentang isi hati Bian terhadapnya, namun ia menikmati moment sore itu, bahkan berharap waktu dapat berhenti dan tak pernah berputar lagi.
“Tuhan, terima kasih untuk sore yang indah ini. Aku bersyukur untuk waktu yang Kau ciptakan hingga aku bisa menghabiskan sore ini dengan seseorang yang kucintai. Meskipun aku sangat ingin memeluknya sekarang, tapi aku sadar itu tak mungkin. Aku bukan siapa – siapa baginya. Jadi kumohon, izinkan aku memeluknya dengan doa dan pengharapan tulusku untuknya. Berikan dia yang terbaik, Tuhan. Aku mencintainya. Andai bisa, kumohon sekali lagi bersamanya...”, Suara hati Ara terbang terbawa angin, disambut lembut sinar matahari yang mulai meredup, mengabarkan kedatangan malam yang membawa dingin.

Minggu, 13 Januari 2013

Senyumnya


Tersenyumlah, masa lalu
Biarkan saja duri – duri mawar itu yang menusuk kalbuku
Mawar merah yang luntur terkikis waktu
Berubah menjadi hitam pekat, dalam kenangan yang masih tersemat

Kamu tersenyum tersipu
Dengan binar mata yang sulit kujelaskan
Kali ini aku membenci senyummu
Senyum yang tak disebabkan olehku, bukan karna hadirku

Masa lalu, bisakah kau genggam jemari sekali lagi?
Kerinduan menderu di sela – sela isakku
Menatap jauh ke sebuah sudut
Sudut yang ada kamu dan kenangan
Menatap tinggi ke sebuah titik
Titik yang hanya ada kamu bersama bayangan

Lihat, bayangan itu bukan aku ! Sial !
Kemudian tangisku retak dalam harapan...

Minggu, 06 Januari 2013

Mentari Bersuara


Aku berpagut menunggu kehadiran senja
tapi fajar tiba lebih dulu menemuiku
katanya senja akan datang terlambat
ah ! dia selalu saja datang terlambat
dia mulai membuatku kesal dan hilang kesabaran

lalu aku berpaling pada mentari yang tampak malu - malu
aku berteriak padanya dengan gahar
bisakah kau muncul lebih cepat?!
jangan terlihat malu - malu seperti itu !
tingkahmu membuatku muak setengah mati !
ayo naik,cepat selesaikan tugasmu lalu segera pulang !
aku merindukan senja...

mentari hanya tersenyum kepada amarahku
dia mulai bersuara..suara yang mengalun dengan teduh
mengapa kau marah padaku?
padahal Rajaku saja tak pernah sekalipun berteriak padaku
kamu bukan siapa - siapa, mengapa bersikap seolah - olah kamu Tuanku?
redupkan angkuhmu, kau kecil sementara Rajaku besar
silahkan minta Rajaku untuk segera mendatangkan senja
tapi kau akan melenyapkan kebahagian orang - orang yang sedang merindukan fajar
kau benar - benar egois, nona !

aku tercekat..
Siapa Rajanya?
Siapa Tuannya?
Sungguh Maha Tahta, bahkan fajar dan senja tunduk padanya
aku tersudut dibalik pepohonan kering
merasa sangat kecil dengan angkuh dan pongahku
diam...bungkam...hanya menunggu senja datang...