Seorang gadis remaja tampak gelisah menatap
layar handphone nya. Gadis
berperawakan tinggi langsing dengan kulit putih pucat dan mata kecokelatan itu
menyisir pandangannya ke segala arah, seperti mencari – cari keberadaan
seseorang. Dirinya semakin gelisah karena orang yang dicarinya tak juga muncul.
Aura Frederich. Ya, itu namanya. Gadis indo campuran antara jawa dan belanda
ini biasa dipanggil dengan nama Ara oleh teman – temannya. Ara baru saja
membuka akun media sosialnya dan muncul nama seseorang di timeline nya. Status akun sosial orang itu membuatnya khawatir,
jantungnya berdetak cepat dan otaknya kacau. Satu – satunya yang ia inginkan
saat ini adalah bertemu orang itu. Memastikan dia baik – baik saja.
Kemudian Ara memutuskan untuk naik ke atap puncak
gedung, tempat favoritnya untuk melepas penat ketika seharian berada di kampus.
Mungkin dari ketinggian itu dia bisa menemukan Bian. Ternyata Ara secara diam –
diam masih menyayangi Bian. Ara masih peduli tentang segala sesuatu yang
berkaitan dengan Bian, pemuda bermata sipit dan berkacamata yang menguasai
seluruh hati Ara. Ternyata perpisahan tak pernah menjamin seseorang akan benar
– benar melupakan. Ara menaiki lift hingga
sampai dipuncak gedung, dan betapa terkejutnya ia ketika melihat Bian sedang
berdiri disana. Bian berdiri memunggungi Ara menghadap ke bukit – bukit yang
jauh, namun terlihat dari tempat mereka sekarang. Cuaca sore yang sedikit
mendung membuat udara menjadi dingin.
“Kamu
kenapa?”, Ara langsung melontarkan pertanyaan yang sejak daritadi ditahannya
bersama perasaan panik.
Bian
kaget mendengar suara yang sudah sangat dikenalinya itu. Dia menoleh dan
melihat Ara berjalan mendekatinya. “Aku gapapa kok, Ra.”, katanya setelah Ara
berdiri disebelahnya.
Ara
melihat orang – orang dan mobil – mobil yang hilir mudik di area kampus dari
atas. Dia tak berani menatap wajah Bian. Ia takut detak jantungnya semakin tak
terkendali. “Lalu statusmu di akun sosial? Jadi gapapa?”
“Udah
gapapa sih, tenang aja.”
“Emang
tadinya kenapa?”
“Udah
gapapa, Syukurlah Tuhan masih sayang.”, Bian menjawab sekenanya sambil
tersenyum.
“Iya
tapi tadi kenapa? Cerita dong..”, Ara yang merasa tidak puas dengan jawaban
Bian kembali mencecar pertanyaan.
“Boleh
cerita nih?”, Bian balik bertanya.
“Kok
sampai minta diselamatkan hidupnya? Dalam bahaya kah?”, Ara langsung bertanya to the point karena tidak sabar.
“Plis
tapi jangan cerita sama orang lain.”, Bian memohon dengan aneh. Membuat Ara
berpikir kejadian yang menimpanya itu berhubungan dengan ‘aib’.
“Iya
iya..aku cuma pengen tahu biar gak kepikiran.”, Ara mencoba jujur bahwa dirinya
khawatir pada Bian.
Bian
senyum – senyum sendiri melihat Ara terlalu menanggapi serius perkataannya dan
terutama statusnya di media sosial itu. Bian mulai bercerita dengan bahasa yang
sedikit mengundang tawa Ara.
“Hari
ini, hari dimana mama ingin pergi belanja. Aku disuruh nemenin. Berhubung sudah
lama gak naik mobil, mama gak percaya buat disopirin. Jadi minta tolong sama
temen mama, sebut saja namanya ibu bunga.”
Tawa
Ara hampir saja pecah mendengar awal cerita Bian, tapi Ara berusaha keras
menahannya sampai Bian mengakhiri ceritanya. Bian melanjutkan ceritanya lagi.
“Singkat
cerita kami sampai ditempat belanja dengan selamat, tidak ada yang aneh.
Disingkat cerita lagi, belanjanya selesai dan kami berencana pulang, dan gak
kusangka ini menjadi kisah yang berbeda.”, Bian bercerita dengan nada
berlebihan yang membuat Ara senyum – senyum.
“Ibu
bunga ini tiba – tiba menyetir dengan ganas, suka ngerem mendadak, nyetir
zig-zag, diklaksonin orang sekota jakarta, bis kota sampai ngalah. Gila ! Nyetirnya
cuman 40 km/jam sudah bisa buat aku dag dig dug der kayak mau ketemu kamu.”
Deg.
Jantung Ara rasanya sempat berhenti beberapa detik mendengar kalimat Bian
barusan. “dag dig dug der kayak mau
ketemu aku?”, tanya Ara dalam hati. Tapi Ara berusaha tak menyela cerita
Bian dan pura – pura tidak menunjukkan reaksi. Ia hanya diam dan terus menyimak
Bian.
“Kamu
tahu sendiri aku ngebut sampai kecepatan 120 plus plus juga gak masalah. Tapi sama
ibu bunga ini saya tak mampu. Jadi saya berdoa di akun sosial saya agar banyak
orang yg meng-amin-i. Dan Alhamdulillah selamat sampai rumah. The End. Any
question ?”, Bian mengakhiri ceritanya.
Ara
yang sedari tadi berusaha menahan tawa, langsung terpingkal – pingkal sambil
memegangi perutnya yang mulai kram. Gaya bicara Bian ketika bercerita tadi
membuatnya merasa itu sangat lucu. Bian memang pandai membuatnya bahagia.
Membuat Ara tertawa dan tersenyum ketia ia bahkan sama sekali sedang tak ingin
melakukannya, itulah satu – satunya yang tak bisa dilakukan cowok lain selain
Bian.
“Cuma
40 kilometer per jam tapi kok jadi menegangkan gitu? Ibu bunga gak bisa nyetir?
Apa yang terjadi dengan Ibu bunga sampai nyetirnya kayak gitu? Mohon dijawab.”,
Ara bertanya mengikuti gaya bahasa Bian dengan tampang sok serius.
“Bis
kota Jakarta adalah raja jalanan, dan dia mengalah. Sudah dapat disimpulkan
seseram apa ? Saya juga gak ngerti kenapa ibu itu panik, bahkan saya harus
menjadi navigator dadakan, karena ibu itu tiba - tiba blank arah jalan pulang.”
Pembicaraan
mereka mulai terdengar sedikit aneh karena menggunakan bahasa yang formal.
Tidak seperti biasanya, ini benar – benar terdengar lucu. Tapi tidak ada
diantara mereka yang protes. Malahan mereka melanjutkan percakapan dengan gaya
bahasa yang sama.
“Berhubung
saya orang kampung yang jarang memerhatikan bis kota Jakarta dijalanan, jadi membayangkannya saja saya belum bisa.”,
Kata Ara menimpali.
“Mungkin
dia sudah mulai grogi saat parkir awal ditempat belanja, karena mobilnya maju
sendiri di jalanan menurun, dan saya harus menghentikan mobil dengan rem
tangan. Padahal saya berada dibelakang sopir. Seremnya bis kota bisa
dibayangkan ketika saya menjadi ganas dengan muka mesum, dan itu masih kurang
serem.”
“Wow
! Berarti sudah bisa disimpulkan bahwa kejadian tadi sangat menyeramkan dan
menegangkan.”, Ara merespon sambil tertawa terbahak – bahak. “Lalu kenapa
cerita ini harus dirahasiakan? Saya pikir kejadian yang anda alami tadi tidak
menyangkut aib pribadi.”
“Kan
ini menyangkut aibnya ibu bunga.”, Bian juga ikut tertawa ketika menjawabnya.
“Boleh
tanya lagi?”, kali ini Ara mulai merubah
nada bicaranya sedikit serius.
“Boleh.”,
raut wajah Bian juga berubah.
“Apakah
benar kejadian tadi bikin dag dig dug der kayak mau ketemu aku? Seseram itukah
aku?”, Ara mulai bertanya tentang kata – kata Bian yang sebenarnya berkelumit
diotaknya sejak tadi.
“Oh,
aku ngomong gitu ya?”, Kata Bian dengan tampang pura – pura bodoh. “Gapapa kok,
bukan karena serem.”
“He'eh..tadi
kamu ngomong gitu. Bukan karena serem? Lalu?”, Ara mulai bergetar. Ia merasakan
darahnya mengalir lebih cepat. Bagaimana
kalau Bian bilang dia masih sayang aku? Tapi bukankah itu yang aku harapkan?,
pertanyaan – pertanyaan itu berputar dalam pikirannya.
“Oh,
mungkin aku gak sengaja ngomong kayak gitu tadi.”, Bian berusaha menjelaskan.
“Terus?”,
Ara berusaha memancing Bian agar menjelaskan lebih banyak.
“Tapi
kok sekarang Ara berani bertanya yah ?”, Bian balik bertanya, membuat Ara
tersentak.
“Hah?
Memangnya dulu gak berani bertanya ya? Padahal di kelas sering nanya juga, kan.”,
Ara bercanda berusaha mengalihkan topik. Tapi kemudian ia berkata lagi dengan
lirih, namun masih bisa didengar oleh Bian. “Iya, aku takut. Malu bertanya jadi
kehilangan.”
“Bagus. That's right.”, Kata Bian tersenyum
sambil menatap Ara.
Ara
menyadari satu kesalahannya saat masih bersama Bian, ia tak pernah bertanya. Ia
selalu bungkam dan sibuk dengan spekulasinya sendiri ketika merasa ada masalah
antara dirinya dan Bian. Ia tak pernah mengutarakan perasaannya dan tak pernah meminta
Bian menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka. Tapi kini Ara
sadar, ego dan gengsi hanya akan membuat kita merasa kehilangan, cepat atau
lambat.
“Aku
merasa belum mendapat jawaban dari pertanyaanku. Jadi seseram itukah aku? Ketemu
aku buat kamu terganggu?”, Ara mulai mengembalikan topik yang sempat
terlupakan. Berusaha mencari tahu isi hati Bian kepadanya.
“Ketemu
kamu gak buat aku terganggu. Yuk pakai bahasa informal”, kata Bian kemudian.
“Oke
informal. Terus kalau gak terganggu, apa dong?”, Ara membalas dengan cepat.
“Informal
artinya lebih formal loh. Nonformal yg bener.”, Bian menyadari Ara salah
mengartikan kata ‘informal’. Lalu tertawa.
Ara
yang mulai merasa ia memang salah mengartikan kata ‘informal’ sama dengan
‘nonformal’ hanya bisa ikut tertawa dipaksakan. Padahal sebelumnya dia paham
benar arti kedua kata itu. Ya, bian selalu mengacaukan konsentrasinya, bahkan
hatinya.
“Jadi
mau informal atau nonformal?”, Ara mencoba menetralisir perasaannya.
“Terserah,
senyaman kamu.”, jawab Bian.
“Kamu
selalu merusak zona fokusku.”, Ara tak sengaja mengatakannya. Dia sempat
tercekat tapi mulai berpikir tak ada salahnya mencoba jujur pada perasaan
sendiri.
“Kok
beda ya, kamu selalu memperbaiki zona gilaku.”
Deg.
Apakah itu jawaban tersirat tentang
perasaannya padaku? Tidak. Aku tak boleh berharap banyak. Jantung Ara
semakin berdebar tak menentu. Ia kehilangan kata – kata namun mencoba bersikap
biasa. “Hmmm...? Gimana bisa aku memperbaiki zona gilamu? Aku ngerasa gak
pernah ngelakuin apa – apa.”
“Maaf
Ra, aku juga gak tahu kenapa.”, Bian memandang Ara dengan raut serius.
“Iya
aku maklum. Soalnya aku juga gak pernah tahu kenapa kamu selalu bisa merusak
zona fokusku.”
Tiba
– tiba Bian membuat seluruh tubuhnya menghadap Ara. “Ara, kamu kok nanya terus
sih? Ntar kebablasan jujurku..”, Bian menghentikan kata – katanya.
Jujur? Jujur
tentang apa? Jujur kalau ternyata kamu masih menyayangiku?
Lagi – lagi Ara sibuk dengan kata hatinya sendiri.
“Dari
dulu itu, aku malah pengen tahu kalau kamu jujur itu gimana.”
“kamu
gak pernah tanya kan?”
“Oh..harus
ditanya dulu ya? Terus baru bisa jujur?”
“Ntar
aku dikira gombalin cewek orang.”, kata Bian dengan lesu.
“Haaa??
Tunggu, tunggu. Apa maksudnya cewek orang??”, Ara sedikit shock mendengar pernyataan Bian.
“Ya..
kamu udah punya cowok kan..”, kata Bian ragu – ragu.
“Mampus
deh. Kalau gebetan orang, masih bisa dibilang gitu. Gebetan dulu lah ! baru
pacaran.”, Ara tertawa.
“Ya
udah sana diurusin gebetannya, tapi gebetan atau pacar cukup satu aja. Serem
diliatnya kalau banyak.”
“Jangan
bilang kayak gitu. Ntar aku nangis.”, Ara pura – pura mengatakannya sambil
tertawa. Tapi Bian bisa menangkap jelas kegetirannya.
“Aku
salah ngomong ya, Ra ? Sorry..sorry kalau salah ngomong. Udahan aja deh
ngobrolnya, ntar daripada keburu netes.”
Ara
tak ingin percakapan itu berakhir. Ara terlalu rindu pada Bian. Jadi sebisa
mungkin ia kembali tersenyum. Berusaha menyembunyikan luka hatinya karena kata
– kata Bian tadi. Bian menyuruhnya
mengurusi gebetannya? Bian bahkan tampak biasa saja saat mengatakannya.
Tidakkah ia cemburu? Semuanya bergema dalam hati Ara.
“Enggak
kok gapapa. Emang salah ya kalau kebanyakan gebetan atau pacar? Terus kamu
punya berapa gebetan? Karena aku udah nanya, jadi jawab yang jujur!”, Ara
berusaha melanjutkan percakapan.
“Salah
lah ! Kamu itu kok bandel. Apalagi kalau dilihat orang kamu nempel – nempel dibanyak
cowok, kan gak enak cewek baik kayak kamu kalau salah dinilai orang, sedikit gak
terima aja. Emm..aku punya gebetan berapa ? NOL besar !”, Bian mencoba memberi
pengertian.
Ara
senang Bian mengatakannya, setidaknya ia tahu Bian masih peduli padanya. “nol besar? Harusnya aku yang mengubahnya
menjadi satu. Satu – satunya. Selamanya hanya ada aku.”, Ara berdialog
sendiri dengan hatinya, sebelum akhirnya angkat bicara.
“Ooohh..aku
gak sebaik yang kamu kira loh, Bian. Sebenernya sih awalnya aku nganggep mereka
kakak atau teman baik yang mungkin bisa ngejaga aku. Tapi mereka salah tanggap,
mungkin gara – gara sikapku yang memang salah, akhirnya kesannya aku memberi
mereka harapan lebih. Selalu aja gitu. Karna aku orangnya juga gak enakan sama
orang, ya gitu deh. Aku gak berani bikin orang lain sakit hati, jadi aku biarin
keadaan seperti itu berlanjut tanpa kejelasan. Lagian gak ada salahnya kan, siapa
tahu ada seseorang yang tepat.”, kemudian Ara terdiam sibuk dengan pikirannya
sendiri.
“Aduh,
maaf jadi curhat.”, kata Ara begitu tersadar dari lamunannya.
“Lagian
gak ada salahnya kan, siapa tahu ada yg tepat.", Bian mengulang kata –
kata Ara. “ Itu pikiran yang buat aku jadi playboy dulu. Ya terserah kamu sih kalau
kamu mau berubah dari Ara yang aku kagumi, jadi Ara yang aku benci.”, lagi –
lagi Bian tersenyum teduh pada Ara. Senyuman yang sanggup menguapkan segala
keresahan dan kesedihan Ara. Senyuman terkadang memang bisa menenangkan jika
orang yang kita cinta yang melakukannya.
“Gak
mau, jangan benci aku. Hal yang paling menyedihkan di dunia ini kan kalo
dibenci sama orang yang kita sayang. Jangan. Iya cukup satu. Dan sebenernya
memang cuma ada satu gebetan sekarang.”, Ara mulai serak menahan tangis. Ia tak
bisa membayangkan jika Bian benar – benar membencinya. Dibenci Bian sama saja
kehilangan separuh daya hidupnya.
“Ya
gitu. Cukup satu.”, kata Bian datar.
“Iya.
Bian, kamu jaga diri ya. Jaga kesehatan. Wish you all the best.”, Ara terus
tersenyum menatap Bian.
“Iya
Ara, kamu juga yah. Jangan bandel, makan dan istirahat yang cukup.”, Bian
membalas menatap dan tersenyum untuk Ara.
“Siap,
Bian !”, Ara tersenyum ceria.
Bian
memasangkan sebelah headset ditelinganya, lalu sebelahnya lagi ia pasangkan
ditelinga Ara. Bian memutar lagu ‘The Way You Look At Me’ – Christian Bautista,
lagu yang pernah dinyanyikannya saat membonceng Ara dengan motornya. Mereka
berdua berdiri berdampingan sambil menatap jauh ke bukit dan pegunugan dibalik
gedung – gedung dan bangunan tinggi itu. Ara seperti terhempas ke masa lalu.
Hatinya masih milik Bian. Tak pernah terkikis waktu dan tak mungkin bisa dihentikan.
Meskipun
ia tak pernah paham dan tak pernah mendapat kejelasan tentang isi hati Bian terhadapnya,
namun ia menikmati moment sore itu,
bahkan berharap waktu dapat berhenti dan tak pernah berputar lagi.
“Tuhan, terima
kasih untuk sore yang indah ini. Aku bersyukur untuk waktu yang Kau ciptakan
hingga aku bisa menghabiskan sore ini dengan seseorang yang kucintai. Meskipun
aku sangat ingin memeluknya sekarang, tapi aku sadar itu tak mungkin. Aku bukan
siapa – siapa baginya. Jadi kumohon, izinkan aku memeluknya dengan doa dan
pengharapan tulusku untuknya. Berikan dia yang terbaik, Tuhan. Aku mencintainya.
Andai bisa, kumohon sekali lagi bersamanya...”,
Suara hati Ara terbang terbawa angin, disambut lembut sinar matahari yang mulai
meredup, mengabarkan kedatangan malam yang membawa dingin.