“Senyum.
Jangan terlihat seperti orang banyak hutang.”
Aku
membaca pesan singkat yang tertera di layar handphoneku. Entah kenapa seperti
ada kekuatan magis yang membuatku serta - merta tersenyum ketika membacanya.
Aku berusaha menahan senyum di tengah keramaian
malam ini. Sialnya, ini selalu saja kulakukan. Berpura –
pura bersikap biasa di depannya, di depan banyak orang yang tak pernah mengerti
bagaimana perasaanku yang sesungguhnya.
Detak
jantung yang tak beraturan seperti ini selalu terjadi ketika aku bersamanya.
Senyuman yang setulus ini hanya melengkung saat aku di dekatnya. Tidak bisa
dipungkiri, dia masih menjadi segalanya.
“makan yuk, lapar nih.”,
dia mengajakku makan sambil mengelus – elus perutnya.
“emm..iya, lapar
banget. Maya, kita makan bareng yuk !”,
ajakku kepada maya yang juga bersama kami.
“boleh deh." , kata Maya.
“oke, jadi kita mau
makan dimana nih?”, Doni akhirnya ikut
nimbrung bersama kami.
“Di tempat biasa aja
deh.”, katanya sambil mengajak kami bertiga;
aku, Maya dan Doni untuk segera menuju area parkir.
“Don, bisa ga sih kamu
jalannya ga usah mepet – mepet ? kedepan sana gih ! aku pengen jalan sama Aira.
Mengais masa lalu nih.”, perkataannya
membuatku tercekat sesaat.
Mengais
masa lalu? Tidakkah dia tahu bahwa masa lalu itu masih begitu nyata di mataku?
Aku sibuk berdebat dengan diriku sendiri. Dia mengatakannya dengan begitu ringan.
Ya, karena mungkin baginya semua hanyalah kenangan yang terlupakan. Baginya
sekarang semua hanya candaan, sementara bagiku segalanya adalah harapan. Aku
masih di tempat yang sama, tak pernah berhasil melangkah ke depan sepertinya.
Aku masih hidup di dalam bilik – bilik yang penuh dengan bayangnya.
“Hahahaa..apaan sih !
ada – ada aja kamu !.”, lagi – lagi aku
seolah bersikap biasa saja.
“Yaudah, kamu naik
motornya berdua aja sama Aira. Biar aku sama Maya. Gapapa kan May?”,
kata Doni sesampainya di area parkir.
“Nah, itu ide bagus,
bro.”, katanya menimpali.
Aku
hanya tersenyum simpul. Jujur, aku bahagia bisa duduk bersama diatas motornya.
Menikmati hangat punggungnya seperti
dulu.
Semua berjalan sesuai harapanku malam ini. Aku
menghabiskan waktu beberapa jam hanya untuk makan, duduk disampingnya sambil
mendengarkan bagaimana ia menceritakan hari – harinya seminggu belakangan.
Sederhana, tapi sudah cukup membuatku bahagia. Kalau boleh jujur, sebenarnya
baru dua jam yang lalu aku makan bersama Yuna, salah satu sahabatku. Perutku
sudah sangat kenyang dan terasa penuh sekali. Tapi hanya untuk bisa makan
dengannya, aku berpura – pura lapar. Hanya dia yang mampu membuatku melakukan
hal – hal yang bagi orang lain bodoh.
Di perjalanan pulang.......
“Ra, kamu udah
punya cowo yang spesial gak?”,
tanyanya tiba – tiba membuatku tercengang.
“Ra..??”, dia memanggil namaku yang tak kunjung merespon
pertanyaannya.
“Eh, belum
kok. Masih nyaman sendiri aja.”, jawabku
sekenanya.
“kamu ga mau
tanya kenapa aku masih sendiri aja sampai sekarang?”, pertanyaan yang terdengar aneh ditelingaku.
“Emm..emang
apa pentingnya buat aku? Ngarep banget ya aku nanya?”, aku membalasnya dengan nada bercanda.
“Yaudah sih
kalo ga mau tau juga gapapa. Aku ga maksa.”
Tapi seketika aku menjadi penasaran tentang alasannya
masih sendiri hingga saat ini. “Memangnya
kenapa kamu masih jomblo aja? Udah ga suka cewek lagi ya? Ah, jangan – jangan
bener lagi kamu homo.”, aku memancingnya untuk mengungkapkan alasannya.
“Aku masih
belum nemuin yang lebih baik dari kamu.”,
alasannya membuatku membisu, aku bahagia tapi juga sesak. Aku harus berhasil
menguasai diriku agar tidak terlihat berlebihan menanggapinya.
“Oh gitu,
yaudah sabar aja. Ntar juga dapet kok.”,
tanggapku singkat.
Ketika itu pula aku berdoa membatin, meminta pada Tuhan
untuk mengirimkan seseorang yang jauh lebih baik dariku. Yang akan menjaganya
dari apa yang akan membuatnya sakit atau terluka, yang mampu membuatnya
tersenyum dalam hari – hari lelahnya, dan seseorang yang mampu menguatkannya
saat ia terjatuh. Aku sadar bahwa aku mungkin tak bertempat lagi di hatinya,
karena itu aku hanya mampu mendoakannya, memeluknya melalui lengan doa dalam
dialog mesraku bersama Tuhan.
Sepanjang perjalanan hingga sampai di rumah aku hanya
terdiam. Menikmati tiap detik yang berlalu bersamanya. Kesempatan malam ini
benar – benar langka, dan mungkin takkan pernah terulang kembali.
“Hati – hati
ya, kamu. Makasih.”, aku mengucapkan
salam perpisahan saat memasuki pagar rumahku. Aku masih sempat tersenyum dan
menatap kedalam matanya. Berharap bahwa masih ada bayanganku di dalam sana. Dia
mengangguk dan membalas senyumanku. Sederhana dan manis.
“Aku pulang.
Kamu cepet istirahat.”, katanya
sambil berlalu dengan motornya.
Aku bergegas menuju kamar. “Ah, perutkuuuuu......”, aku merengek sambil memegang perutku yang
kesakitan karena terlalu penuh diisi makanan. Aku bertanya - tanya kepada diriku sendiri, mengapa aku harus sebodoh ini? Tapi hanya dengan begitu aku
masih mempunyai alasan untuk bisa lebih lama bersamanya. Hanya dengan begitu
kami bisa punya sedikit waktu untuk saling menatap dengan senyuman. Setidaknya
sebelum ada orang lain yang akan rajin menemaninya, yang akan menggenggam erat
tangannya, seperti aku dulu. Apakah aku benar - benar nampak bodoh malam ini?