Senin, 23 September 2013

Malam Ini Bodoh Ya?

“Senyum. Jangan terlihat seperti orang banyak hutang.” 

Aku membaca pesan singkat yang tertera di layar handphoneku. Entah kenapa seperti ada kekuatan magis yang membuatku serta - merta tersenyum ketika membacanya. Aku berusaha menahan senyum di tengah keramaian malam ini. Sialnya, ini selalu saja kulakukan. Berpura – pura bersikap biasa di depannya, di depan banyak orang yang tak pernah mengerti bagaimana perasaanku yang sesungguhnya.
Detak jantung yang tak beraturan seperti ini selalu terjadi ketika aku bersamanya. Senyuman yang setulus ini hanya melengkung saat aku di dekatnya. Tidak bisa dipungkiri, dia masih menjadi segalanya.
“makan yuk, lapar nih.”, dia mengajakku makan sambil mengelus – elus perutnya.
“emm..iya, lapar banget. Maya, kita makan bareng yuk !”, ajakku kepada maya yang juga bersama kami.
“boleh deh." , kata Maya.
“oke, jadi kita mau makan dimana nih?”, Doni akhirnya ikut nimbrung bersama kami.
“Di tempat biasa aja deh.”, katanya sambil mengajak kami bertiga; aku, Maya dan Doni  untuk segera menuju area parkir.
“Don, bisa ga sih kamu jalannya ga usah mepet – mepet ? kedepan sana gih ! aku pengen jalan sama Aira. Mengais masa lalu nih.”, perkataannya membuatku tercekat sesaat.
Mengais masa lalu? Tidakkah dia tahu bahwa masa lalu itu masih begitu nyata di mataku? Aku sibuk berdebat dengan diriku sendiri. Dia mengatakannya dengan begitu ringan. Ya, karena mungkin baginya semua hanyalah kenangan yang terlupakan. Baginya sekarang semua hanya candaan, sementara bagiku segalanya adalah harapan. Aku masih di tempat yang sama, tak pernah berhasil melangkah ke depan sepertinya. Aku masih hidup di dalam bilik – bilik yang penuh dengan bayangnya.
“Hahahaa..apaan sih ! ada – ada aja kamu !.”, lagi – lagi aku seolah bersikap biasa saja.
“Yaudah, kamu naik motornya berdua aja sama Aira. Biar aku sama Maya. Gapapa kan May?”, kata Doni sesampainya di area parkir.
“Nah, itu ide bagus, bro.”, katanya menimpali.
Aku hanya tersenyum simpul. Jujur, aku bahagia bisa duduk bersama diatas motornya. Menikmati hangat punggungnya seperti dulu.
Semua berjalan sesuai harapanku malam ini. Aku menghabiskan waktu beberapa jam hanya untuk makan, duduk disampingnya sambil mendengarkan bagaimana ia menceritakan hari – harinya seminggu belakangan. Sederhana, tapi sudah cukup membuatku bahagia. Kalau boleh jujur, sebenarnya baru dua jam yang lalu aku makan bersama Yuna, salah satu sahabatku. Perutku sudah sangat kenyang dan terasa penuh sekali. Tapi hanya untuk bisa makan dengannya, aku berpura – pura lapar. Hanya dia yang mampu membuatku melakukan hal – hal yang bagi orang lain bodoh.
Di perjalanan pulang.......
“Ra, kamu udah punya cowo yang spesial gak?”, tanyanya tiba – tiba membuatku tercengang.
“Ra..??”, dia memanggil namaku yang tak kunjung merespon pertanyaannya.
“Eh, belum kok. Masih nyaman sendiri aja.”, jawabku sekenanya.
“kamu ga mau tanya kenapa aku masih sendiri aja sampai sekarang?”, pertanyaan yang terdengar aneh ditelingaku.
“Emm..emang apa pentingnya buat aku? Ngarep banget ya aku nanya?”, aku membalasnya dengan nada bercanda.
“Yaudah sih kalo ga mau tau juga gapapa. Aku ga maksa.”
Tapi seketika aku menjadi penasaran tentang alasannya masih sendiri hingga saat ini. “Memangnya kenapa kamu masih jomblo aja? Udah ga suka cewek lagi ya? Ah, jangan – jangan bener lagi kamu homo.”, aku memancingnya untuk mengungkapkan alasannya.
“Aku masih belum nemuin yang lebih baik dari kamu.”, alasannya membuatku membisu, aku bahagia tapi juga sesak. Aku harus berhasil menguasai diriku agar tidak terlihat berlebihan menanggapinya.
“Oh gitu, yaudah sabar aja. Ntar juga dapet kok.”, tanggapku singkat.
Ketika itu pula aku berdoa membatin, meminta pada Tuhan untuk mengirimkan seseorang yang jauh lebih baik dariku. Yang akan menjaganya dari apa yang akan membuatnya sakit atau terluka, yang mampu membuatnya tersenyum dalam hari – hari lelahnya, dan seseorang yang mampu menguatkannya saat ia terjatuh. Aku sadar bahwa aku mungkin tak bertempat lagi di hatinya, karena itu aku hanya mampu mendoakannya, memeluknya melalui lengan doa dalam dialog mesraku bersama Tuhan.
Sepanjang perjalanan hingga sampai di rumah aku hanya terdiam. Menikmati tiap detik yang berlalu bersamanya. Kesempatan malam ini benar – benar langka, dan mungkin takkan pernah terulang kembali.
“Hati – hati ya, kamu. Makasih.”, aku mengucapkan salam perpisahan saat memasuki pagar rumahku. Aku masih sempat tersenyum dan menatap kedalam matanya. Berharap bahwa masih ada bayanganku di dalam sana. Dia mengangguk dan membalas senyumanku. Sederhana dan manis.
“Aku pulang. Kamu cepet istirahat.”, katanya sambil berlalu dengan motornya.
Aku bergegas menuju kamar. “Ah, perutkuuuuu......”, aku merengek sambil memegang perutku yang kesakitan karena terlalu penuh diisi makanan. Aku bertanya - tanya kepada diriku sendiri, mengapa aku harus sebodoh ini? Tapi hanya dengan begitu aku masih mempunyai alasan untuk bisa lebih lama bersamanya. Hanya dengan begitu kami bisa punya sedikit waktu untuk saling menatap dengan senyuman. Setidaknya sebelum ada orang lain yang akan rajin menemaninya, yang akan menggenggam erat tangannya, seperti aku dulu. Apakah aku benar - benar nampak bodoh malam ini?

Sabtu, 14 September 2013

Jika Itu Tentang Kamu

Jika itu tentang kamu, 
aku seperti melihat cahaya yang lebih terang dari benderang.
jika itu tentang kamu, 
aku ingin waktu yang lebih lama dari selamanya.
dan jika itu tentang kamu, aku belajar mencintai bunyi yang melenyapkan sunyi.