Matahari masih malu – malu menempati tahtanya, sementara Prisa
sudah sibuk sendiri di kamarnya. Lingkaran matanya tampak semakin cekung dan
hitam. Ia sudah tampak seperti anak panda saat ini. Entah sudah
berapa lama ia bergelut dengan tumpukan – tumpukan kertas di depan laptopnya. Melihat
keadaannya sekarang, terlihat jelas sekali bahwa perempuan ini kurang tidur.
Sinar mentari mulai menembus jendela kamarnya. Tapi ia sama sekali tak
bergeming dari tempatnya semula. Tepat
pukul 9 pagi, prisa mulai bangkit dan mengambil handuk dengan lemas sebelum
akhirnya masuk ke kamar mandi. Kalau saja tidak ada jadwal kuliah, mungkin saja
ia akan menyempatkan diri untuk terlelap sebentar saja. ~~~~
Kampus sudah ramai dengan mahasiswa – mahasiswa yang ‘cinta’ kampus. Prisa
sangat kesal karena itu artinya ia akan kesulitan mencari tempat parkir untuk
motornya. “Kampus ini memang butuh area parkir bawah tanah !”, keluhnya sambil
memarkir motor putihnya. Ia bergegas berjalan menuju ruang kuliahnya, menaiki
tangga dengan malas, dan--- tampak dua sahabatnya sedang duduk di dekat papan
pengumuman. Sepertinya masih sedikit sekali teman sekelasnya yang datang. Prisa
menyapa dua malaikat itu dengan senyum sedikit dipaksakan. Maklum, mood-nya
sedang tidak baik hari ini. Sebenarnya, yang ia butuhkan hanya 'tidur'.
“Hai sar, dew.”, begitulah prisa menyapa sari dan dewi.
“sa, laporan kamu udah selesai?”, tanya sari.
“belum, sar. Nih masih mau lanjut. Kalian udah?”
“belum !”, sari dan dewi menjawab kompak seraya menggelengkan kepala
mereka sebagai bentuk penegasan.
Tanpa basa – basi Prisa mulai menumpuk lagi kertas – kertas yang
membuatnya tidak tidur semalaman dan melanjutkan menulis laporannya yang
tinggal beberapa lembar lagi. Satu – persatu teman sekelasnya datang, tapi Prisa terlalu fokus pada laporannya sampai ia tak menyadari Sari dan Dewi sudah turun ke lantai bawah meninggalkannya. Ternyata hari itu dosen mereka tidak
hadir dan mereka hanya diminta untuk mengisi presensi.
Tiba – tiba muncul Ima dengan sekotak kue yang membuat Prisa tergiur
mencicipinya.
“Im, mau satu dong. Gratis kan?”, berharap Ima menjawab ‘iya’ dan Prisa
tak perlu repot – repot mengeluarkan isi dompetnya. Tapi harapan dan kenyataan terkadang memang tak bisa sejalan.
Ima menjawab
dengan cepat, “bayar dong, Pris. Murah kok.”
“Oke deh..bayarnya ntar lagi ya. Aku mau ngisi presensi dulu. Im, titip
tas sama laporanku ya.” Prisa mencomot satu kue dengan gula manis kesukaannya
lalu segera turun menuju ruang recording. ~~~~
Sesampainya di ruang recording, Prisa mencari – cari keberadaan dua
sahabatnya yang hilang entah kemana. Kata – kata ini sedikit berlebihan jika mengetahui
kemungkinan besar mereka sedang berada di kantin asrama kampus. Tanpa membuang
waktu, Prisa langsung mengisi presensi dan kembali ke lantai atas untuk
mengambil tas dan laporan yang tadi dititipkannya pada Ima. Dengan gontai ia
menaiki tangga. Baru menaiki separuh anak tangga, ia tercekat dan gerakannya semakin
melambat...
Rupanya ada seseorang diatas sana. Seseorang yang dulu pernah menguasai
tangis dan senyumnya, seseorang yang sampai saat ini selalu menjadi alasan
bahagia dan sedihnya, seseorang yang tak pernah luput disebut namanya dalam
rentetan doa – doa Prisa.
Pesonanya yang maha dahsyat bagi Prisa, mulai membuat perempuan ini ragu – ragu untuk
menaiki anak tangga itu lagi. Tapi seperti biasa, ia selalu berjuang menahan
perasaannya agar tak terlihat kaku dan aneh didepan Deka. Ya, laki – laki itu
bernama Deka.
“seperti biasa, dia selalu
kelihatan cakep.”, kata Prisa dalam hati. ~
Dengan berat hati Prisa berlari menaiki tangga kemudian segera mengambil
tas dan membereskan kertas laporannya. Deka juga disana dan kelihatannya ia juga
sedang memilih kue didalam kotak itu.
“Eh im, thanks ya. Aku mau ke kantin asrama
dulu nyusul sari sama dewi.”, buru –
buru Prisa beranjak pergi sebelum ia tak bisa lagi mengontrol jantungnya yang
sedari tadi berdetak semakin cepat dari biasanya.
“eh, kuenya tadi belum bayar, say.”, ima cepat – cepat mengingatkan
Prisa sebelum perempuan itu kabur.~
Deg. Prisa lupa membayar kue yang tadi
dimakannya. Bukan pura – pura lupa, tapi ia benar – benar lupa. Deka memang
selalu berhasil mengacaukan pikirannya. Ia selalu sanggup membawa Prisa keluar jauh
dari zona fokusnya.
Sebelum Prisa berhasil mengeluarkan dompet dari dalam tasnya..,
“sekalian deh aku bayarin kue Prisa.”, suara Deka terdengar samar oleh
Prisa.
“Udah dibayarin sama Deka kok, say.”, suara ima memperjelas apa yang
didengar Prisa barusan.
“oh,makasih ya. Lagi baik nih anak sekarang.”, kata Prisa sambil menepuk –
nepuk lemah lengan Deka. Sok akrab. Sok santai. Sok biasa. Dan jelas sekali,
tindakan yang sangat ‘dipaksakan’.
“aku turun duluan ya.”, Prisa pamit dan bergegas pergi meninggalkan ima
dan Deka disana.
Ada senyum yang mengembang saat Prisa berlari menuruni tangga. Ada perasaan
bahagia sedang berkecamuk dalam hatinya. “Hari ini akan menyenangkan. Semangat,
Prisa !”, katanya dalam hati sambil tetap tersenyum. Ada debar yang tak pernah bisa ditemukan alasannya,
debar istimewa karena sepotong kue di sekotak pagi yang bersinar.
Segala sesuatu dalam duniaku
Takkan pernah jadi biasa,
Jika masih dapat kutemukan kamu disana.