Kamis, 10 Oktober 2013

Pria di Sudut Ruangan

kamu,
hujan yang turun setelah mendung gelap pekat
menyejukkan, meneduhkan saat kurasa semua menanduskan
kamu,
pelangi yang bias membentang
memberi warna elok dihariku, saat yang kutahu hanya abu-abu dan hitam
kamu,
suara yang mengalun merdu
menggema menelusup hingga terekam sampai otakku
berputar berulang kali, kemudian hilang kendali
kamu,
bayangan lembut dalam lamunan
tertangkap dalam tiap kedipan, namun tak terjamah dengan sentuhan
semu yang menjelma serupa nyata
kamu,
lengkungan senyum mengagumkan
yang meruntuhkan jutaan bintang hanya dengan kesederhanaan
sungguh, pesona manis tak terdeskripsikan
kamu…
pria berkemeja batik  di sudut ruang…

Hanya Beda, Sebab Tak Sama

Di sudut kamar jemariku menari
Berdansa di atas piano memainkan sebuah nada harmoni
Nada indah yang berayun di lorong – lorong telingaku
Harmoni yang menjadikan bayanganmu serasa begitu nyata dimataku
Melodi yang menghempaskanku ke dalam satu masa,
masa yang katanya bernama kenangan,
masa yang bagiku masih menjadi ingin dan angan
Di sana aku melihat kita merebah menatap langit malam
Menyaksikan jutaan bintang gemerlap,
menikmati desiran dingin angin yang seketika menjadi hangat
Menatap sebuah dunia yang kuyakini sebagai jelmaan surga
Hanya aku dan kamu, hanya ada kita
Kita sedang mencoba memahami isi hati masing – masing
lalu terkesiap karena puluhan bintang jatuh
Tanpa sadar memejamkan mata,
seraya lirih mesra memanjatkan doa
Dengan harap bahwa para malaikat sedang ikut mengaminkan,
kemudian Tuhan akan bermurah hati untuk mengabulkan
Saat aku mengepalkan tangan aku berharap,
aku dan kamu akan selamanya menjadi kita
Tapi saat kamu menengadahkan kedua tangan,
aku hanya menebak – nebak doa apa yang sedang kamu rapalkan
Kini segalanya berubah jadi semu
Kita, tak pernah sampai pada titik temu
Apakah kita merapal doa yang tak sama?
Tuhanmu, Tuhanku, atau memang salah kita yang terlalu memaksa?
Andai saja…rosario dan tasbih tak pernah dianggap berbeda…