Minggu, 16 Desember 2012

Senja Musim Hujan di Malang


“Aku sudah lelah. Berulang kali dia seperti itu ! Selingkuh, lagi dan lagi ! Putus dengannya memang jalan terbaik. Fathan gak akan pernah berubah.”, Aku berbicara dengan nada tinggi.
Dia diam tak bersuara. Aku bisa membaca pikirannya hanya dengan menatap matanya. Dia bingung, tak tahu harus memberi tanggapan apa.
Aku berkata lagi, “Aku cuma bisa sabar menghadapi dia. Gak ada lagi yang bisa aku lakukan selain bersabar, Rayen.”
“Claudy...”, Rayen menyebut namaku.
Aku menoleh ke arahnya yang sedang duduk tepat disampingku, “Ya?”
“kamu bisa ikut aku sebentar? Mungkin jalan – jalan bisa sedikit mengurangi kesedihanmu.”
“Gimana sama Kara? Aku takut dia marah kalau tahu kita jalan berdua.”
Rayen menatapku dengan senyum simpul, “Dia sahabat yang baik. Dia gak mungkin marah.”
Sahabat. Dia menambahkan kata sahabat dalam jawabannya. Sepertinya dia bisa menangkap isi otakku. Dia tahu kalau aku mengganggap ia dan Kara lebih dari sekadar sahabat. Tapi kata – katanya membuatku begitu yakin bahwa tidak ada hubungan yang dalam diantara mereka. Lagi pula aku memang butuh waktu jalan – jalan.
“Baiklah. Kamu mau mengajakku kemana?”
“Ikut saja. Nanti kamu akan tahu.”, lagi – lagi dengan senyumnya yang simpul dan dingin.
Ini pertama kalinya Rayen memboncengku dengan motornya. Diam – diam ada perasaan aneh yang merasuk lewat celah – celah hatiku. Entahlah, mungkin hanya sebatas rasa nyaman karena ada seorang teman yang bisa mengerti rasa sakitku. Rasa sakit  karena telah dikhianati berkali - kali oleh seseorang yang kupikir akan menjadi takdirku, Fathan.
“Claudy, kamu tahu nama motorku?”, Rayen bertanya sambil tetap fokus mengendarai motornya.
“Memangnya motormu punya nama?”
“Iya, namanya keyla.”
Aku tersenyum mendengar pengakuannya. Aku mulai penasaran apakah ia juga memberi nama untuk setiap benda lain yang dimilikinya. Tapi aku tak tertarik lagi melanjutkan percakapan. Sepanjang perjalanan aku hanya melihat jalanan yang nampak ramai oleh mahasiswa dan pelajar SMA yang baru pulang sekolah. Kota Malang, memang benar – benar Kota Pelajar. Kota yang akan menjadi saksi impianku dirintis, tempat yang akan menjadi pengukir sejarah dimana mimpi – mimpi masa depan akan aku lukis. Angin sejuk semakin membawa pikiranku terbang. Bangunan – bangunan yang kokoh terlihat berdiri tangguh, membuat iri hatiku yang rapuh. Tiba – tiba kurasakan motor Rayen berhenti tepat di depan sebuah Sekolah Menengah Atas di tengah kota. Awalnya aku bingung untuk apa dia membawaku kesini. Ditengah kebingunganku, dia menarikku menyeberang jalan.
Dan kami sampai di sebuah tempat. Aku melihat Patung Tugu di tengah kolam yang penuh dengan bunga teratai. Aku melihat dengan takjub bunga – bunga berwarna – warni yang berputar menghiasi sekeliling tempat ini. Taman Tugu, tepat di depan Balai Kota Malang, memikatku sejak awal aku menginjakkan kakiku disini. Tuhan, ini benar – benar indah. Perpaduan yang pas dengan angin sore yang membawa bau tanah basah usai hujan, semakin mempesona bersama suara gemuruh kendaraan yang berlalu - lalang.
“Kita duduk disini saja.”, Rayen menunjuk sebuah kursi panjang dipinggiran kolam.
“Tempat ini indah,ya? Kamu sering ke tempat ini?”
“Lumayan. Bisa jadi pengobat suntuk dan galau.”, katanya sambil tertawa datar.
Dia melanjutkan kata – katanya, “kamu lihat bunga teratai itu? Awalnya mereka hanya bunga kuncup yang warnanya nampak gelap dari luar. Tapi lama – kelamaan mereka akan mekar dan mulai menampakkan keindahannya bersama warna yang cerah. Kamu harus belajar dari mereka. Jangan terus berdiam diri dalam suramnya hatimu, tapi bangkitlah. tunjukkan indahmu, jangan kalah sama bunga – bunga itu.”
Aku tersentak. Berusaha mencerna setiap kata – katanya yang mendamaikan. Aku hanya bisa menatapnya. Menatap tajam ke arah matanya. Ada ketulusan dan kelembutan di matanya yang dingin. Dan entah kenapa aku tak bisa berlama – lama menyelami pandangannya yang sarat makna. Aku kembali mengalihkan pandanganku pada bunga – bunga disekeliling taman ini. Sayang sekali, bunga teratai yang bertabur di permukaan kolam itu sedang kuncup. Andai saja aku datang lebih sore, mungkin aku bisa melihat keindahan teratai yang sedang mekar. Kali ini aku kurang beruntung. Tapi aku berniat datang lagi ke taman ini lain waktu.
Lalu aku berdiri sambil menghirup udara dalam – dalam, memejamkan mata kemudian membukanya perlahan. Aku bisa merasakan ada senyum yang mengembang di bibirku. Aku juga bisa melihat lewat sudut mataku, Rayen diam – diam sedang memerhatikanku. Tiba – tiba saja perasaan aneh itu muncul lagi. Aku ingin kembali ke tempat ini lagi bersama Rayen. Ya, hanya bersamanya. Dan aku masih tak bisa menemukan alasan yang tepat mengapa aku ingin datang lagi ke taman tugu ini bersamanya.


Bersambung...

3 komentar:

  1. mbak sumpah keren pooll..... :D

    BalasHapus
  2. ini karangan mu???
    that's look like your true story... :p

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus