Aku membuka pintu rumah
dan melihat Rayen sudah menunggu di depan pagar. Tepat jam empat sore. Tshirt
dengan kerah berwarna cokelat muda dipadukan dengan celana jeans berwarna gelap
nampak pas sekali ditubuhnya. Meskipun tidak setinggi atlet basket yang banyak
digilai oleh remaja – remaja perempuan seusiaku, kuakui Rayen memang keren
dengan tampangnya yang cool. Sedangkan aku mengenakan rok
bermotif pelangi dengan kaos berwarna hitam.
“Hai, sudah lama
nunggu?”, sapaku setelah menggembok pagar.
“belum lama kok. Lagian
lebih baik aku yang nunggu daripada aku ngebiarin kamu yang nunggu aku. Ya,
kan?” Aku hanya tersenyum dan langsung naik ke atas motornya.
Pemandangan yang benar –
benar menakjubkan. Setelah melewati alun – alun Batu yang cukup ramai
dikunjungi, kami mulai melewati jalan yang terus menanjak. Di kanan dan kiri
kami hanya ada pepohonan dan hamparan pegunungan hijau. Aku membuka helmku dan
menghirup napas dalam – dalam. Merentangkan kedua tanganku dan yang membuat
semakin menakjubkan adalah aku bisa melihat Kota Malang dari atas sini. Pesona
alam yang benar – benar mendamaikan hati. Aku cinta tempat ini, kota ini,
dan..aku cinta seseorang yang membawaku kesini. Ya, aku jatuh cinta kepada
Rayen sejak kami jalan berdua pertama kali. Aku tidak bisa terus mengelak dari
perasaan yang semakin hari semakin menyesakkan. Aku jatuh cinta padanya. Tapi
aku belum siap menerima kenyataan jika kenyataannya Rayen hanya menganggapku
sebagai teman dekatnya, tidak lebih dari itu.
Selama kurang lebih
setengah jam perjalanan, kami memasuki tempat wisata Selecta. Aku belum pernah
kesini sebelumnya. Tapi aku sudah mendengar cerita tentang tempat ini
sebelumnya. Teman – temanku selalu mendeskripsikan tempat ini sebagai tempat
yang indah dan romantis. Setelah membeli tiket masuk dan memarkir motornya,
Rayen membimbingku masuk ke tempat wisata itu.
“Kamu pernah kesini
sebelumnya?”, tanya Rayen membuka percakapan.
“Belum. Tapi sudah
banyak dengar cerita tentang tempat ini. Katanya sih romantis.”, aku menjawab
sambil nyengir.
Aku melihat senyum Rayen
mengembang. “Iya, ini memang tempat yang romantis. Coba deh kamu lihat itu.”,
Rayen menunjuk suatu tempat yang penuh hamparan bunga warna – warni. Aku
tercekat. Aku sangat suka bunga. Dan sekarang, lagi – lagi dia membawaku ke
tempat yang bisa kusebut sebagai lautan bunga. Hatiku melumer, luluh bukan
main. Rayen benar – benar menyita seluruh hatiku tanpa sisa dengan caranya.
“Gila ! tempat ini bagus
banget !”, Aku setengah berteriak takjub.
“Nah, kalau mau yang
lebih bagus ayo aku tunjukkan sama kamu.” Rayen menggapai telapak tanganku lalu
menarikku untuk mengikutinya. Aku sempat kaget saat ia meraih tanganku. Kami
saling bergenggaman tangan. Jantungku mulai berdebar – debar diluar kendali.
Tubuhku sedikit gemetar karenanya. Lalu cepat – cepat aku mengontrol sikapku
agar tidak terlihat grogi didekat Rayen.
Kami harus menaiki
beberapa anak tangga yang terbuat dari bebatuan alam yang sengaja disusun agar
pengunjung bisa naik ke jalan setapak yang lebih tinggi. Rayen membantuku naik
ke atas, tetap menggenggam tanganku. Kami terus berjalan menyusuri sebuah
lorong kecil yang diatas dan disampingnya ditumbuhi tanaman merambat
menyelimuti lorong itu. Ada beberapa bunga yang tumbuh dan mekar diatasnya. Aku
mengamati setiap bunga yang mekar, dan tetap merasakan hangat telapak tangan
Rayen yang sedang menggandengku. Dengan sedikit keberanian aku menoleh ke arah
Rayen yang berjalan disampingku. Sial, dia menatapku. Tatapannya yang teduh itu
membuatku lemas. Lalu aku melirik ke tangan kami yang saling menggenggam. Tapi
seakan bisa membaca pikiranku, Rayen bukannya melepaskan tanganku, tapi malah
semakin menggenggamnya erat – erat. Aku melihatnya dengan tatapan tak percaya.
Rayen tersenyum penuh arti kemudian mengalihkan pandangannya dariku. Begitu
juga dengan aku yang langsung berpura – pura melihat – lihat yang ada disekitar
kami.
Aku tak percaya dengan
apa yang sedang kulihat. Begitu keluar dari lorong tadi, ada tempat yang mirip
dengan balkon yang dipagari dengan kayu dari pohon jati sebagai pembatas,
karena dibawahnya ada semacam tebing yang cukup curam. Dan dikedua sisinya
ditumbuhi dengan pepohonan rindang. Sementara itu didepannya terpampang
bagaikan sebuah lukisan alam yang indah, pegunungan hijau yang puncaknya
terbalut kabut tipis, dan bisa kulihat sungai – sungai kecil yang mengalir. Di
bawah sana ada hamparan sawah dan beberapa kebun bunga dan buah milik warga
lokal. Kami berdua berdiri di balkon itu, berpegangan pada kayu pembatas sambil
memandang jauh ke depan. Untuk beberapa saat tidak ada dari kami yang angkat
bicara. Lalu aku punya inisiatif untuk membuka percakapan.
“Aku baru pertama kali
datang ke tempat seindah ini. Makasih ya.”, Aku melihat Rayen sambil tersenyum.
“Iya, sama – sama. Dulu
aku pernah janji sama diriku sendiri buat datang ke tempat ini sama
seseorang.”, Kemudian Rayen terdiam. Aku menunggu Rayen melanjutkan kata –
katanya. Tapi beberapa lama kemudian dia masih belum berkata apa – apa.
“Seseorang? Siapa?”,
tanyaku lagi memecah keheningan diantara kami.
“Dulu waktu pertama kali
masuk bangku kuliah, aku suka sama seorang cewek. Dia cantik, pintar, dan baik.
Senyumnya juga manis, buat aku gak bisa berpaling kalau llihat dia lagi senyum.
Aku kagum sama dia. Mungkin juga aku sudah jatuh cinta sama dia sejak pertama kali
aku lihat dia. Tapi sayangnya waktu itu dia sudah punya pacar, Dy.” Rayen
bercerita panjang lebar. Hatiku sedikit sakit mendengar ceritanya. Ternyata
Rayen sudah punya seseorang di dalam hatinya. Jadi selama ini aku terlalu salah
mengartikan sikap Rayen yang penuh perhatian padaku. Dia hanya ingin
menjadikanku sebagai sahabatnya. Lalu aku memegang lengan Rayen, berusaha
menguatkan dia meskipun hatiku sendiri sedang perih.
“Sabar ya, Ray.” Kataku
dengan nada tulus.
“tapi sekarang aku udah
nepatin janji aku kok, Dy. Aku udah bawa seseorang itu kesini. Sekarang dia
udah ada disamping aku.”
“Apa? Maksud kamu?”, Aku
masih bingung dengan kata – katanya. Aku mengangkat sebelah alisku untuk
meminta penjelasan.
“Harusnya kamu sudah
tahu kalau cewek yang selama ini aku sayang itu cuma kamu, Dy. Aku sayang sama
kamu. Aku ga bisa lagi menyembunyikan perasaan ini dari kamu. Sudah terlalu
lama dan aku cuma bisa nahan sakit waktu lihat kamu sama pacar kamu.”
“Aku marah banget waktu
tahu kamu disakitin sama Fathan. Aku yang selama ini berusaha mati – matian
buat jaga perasaan kamu biar selalu ceria, sementara Fathan dengan seenaknya
buat hati kamu hancur.”
“ Claudy, ijinin aku
terus ada buat ngejaga kamu. Aku mau terus kamu ada disisi aku bukan cuma
sebagai sahabat. Dy, sekarang dengerin ini baik – baik. Kamu mau gak jadi
pacarku?”, Rayen memegang kedua sisi bahuku sambil menatapku lekat – lekat.
Aku hanya diam membalas
tatapan Rayen tak percaya. Rasanya aku sedang berada di surga bersama seorang
malaikat tampan yang saat ini sedang memohon untuk menjadi pacarku.
“Dy, jangan diam. Aku
butuh jawaban kamu.”, Kata – kata Rayen berhasil mengembalikanku ke dunia
nyata.
Aku ingin segera
mengangguk dan memberikan jawaban ‘iya’. Tapi tiba – tiba handphoneku berbunyi.
Tanda sms masuk. Sambil menyimpan sejuta rasa gembiraku karena kata – kata
Rayen barusan, aku mengambil handphoneku dari dalam tas. Aku takut mama yang
mengirimkan pesan karena saat berangkat tadi mama sedang tidak di rumah, jadi
aku belum sempat pamit. Ku buka sms itu, ternyata dari Kara, sahabat Rayen yang belakangan juga menjadi teman dekatku. Aku baca pesan itu dengan seksama.
“Dy, aku mau jujur nih
sm kamu. Sebenarnya aku sdh lama suka sama Rayen. Tp skrg aku sdh gak kuat lg
nahan perasaanku buat dia. Aku mau ngungkapin perasaanku ini secepatnya. Km
bantu aku, ya?”
Dadaku sesak. Aku sulit
bernapas. Aku berharap semua ini hanya mimpi. Bukan bagian saat Rayen
menyatakan perasaannya padaku, tapi bagian bahwa Kara, temanku, juga menyukai
Rayen bahkan sejak lama. Tubuhku gemetar. Aku kembali menatap wajah Rayen yang
tampak cemas menunggu reaksiku.
“Rayen...”, aku mulai
berusaha menjawab dengan suara serak yang ditahan.
“Maaf, tapi selama ini
aku hanya menganggap kamu sebagai sahabat, gak lebih dari itu. Aku sayang sama
kamu, tapi rasa sayang aku ke kamu hanya sebatas sahabat.”
“maaf...”, kataku sekali
lagi.
Aku melihat wajah Rayen
berubah pucat. Ada kekecewaan di raut wajahnya. Aku tak bisa lagi membendung
air mataku yang sejak tadi kutahan. Dengan sisa – sisa kekuatanku aku mendekati
Rayen dan menghambur ke pelukannya. Aku menangis terisak dibahunya.
“Kamu gak usah nangis,
Dy. Kamu juga ga perlu minta maaf karena kamu gak salah. Perasaan memang gak
bisa dipaksakan. Udah ya, kita tetap bisa jadi sahabat. aku akan selalu ada
buat kamu.” Kata – kata Rayen semakin membuat pedih hatiku.
Aku tetap memeluk Rayen
erat. Hari semakin sore dan matahari bersiap untuk terbenam lagi. Kurasakan
rintik – rintik hujan menusuk kulitku. Seakan langit mengerti perasaan sedihku
saat ini dan ingin ikut menangis bersamaku. Harusnya hari ini menjadi hari
bahagiaku karena bisa mendapatkan seseorang yang begitu aku sayang, Rayen. Tapi
Kara juga temanku. Aku tak mungkin menyakiti hatinya dengan menerima Rayen. Tak adil rasanya jika aku harus bahagia
sementara dia yang terluka. Biarkan saja senja kali ini yang menjadi saksi
bahwa aku sebenarnya begitu mencintai Rayen. Biarkan senja musim hujan ini yang
mengenang bahwa sepasang hati yang saling jatuh cinta tapi tidak bisa bersama
pernah mengukir cerita di tempat ini.
Rayen melepaskan
pelukanku. Kami saling menatap beberapa saat kemudian saling tersenyum. Dia
mendekatkan wajahnya lalu mencium keningku penuh kasih. “Kita tetap sahabat,
Dy. Aku akan tetap sayang kamu.”
Tamat..