Rabu, 22 Mei 2013

Denganmu, Romantisme Kebenaran

Mengintip lewat celah kabut tebal yang berpawai
Semua bersaksi atas nama ketidakadilan dan pengkhianatan
Membuka mata – mata tak acuh yang pura – pura buta,
Telinga – telinga ratu yang pura – pura tuli,
Dan mulut – mulut penebar harapan palsu  yang kini seakan bisu

Benih janji sembarangan ditebar
Memupuk impian di hati para ringkih yang penuh pengharapan
Lihat! semua mati sebelum tumbuh, sayang..
Ah, aku jengah !
Segalanya hanyalah sajak doa yang dianggap mustajab
Janji itu menjadi ayat – ayat tanpa makna, sabda – sabda puiti tanpa  arti

Aku berjalan bersamamu, orang – orang malang..
Menyibak ilalang kebodohan, aku bangkit!
Menepis tirai kemalasan, aku bangkit !
Demi asa, demi angan, dan demi cita dalam romantisme kebenaran…
Aku dan kamu satu, kita bangkit !

Minggu, 12 Mei 2013

Bertirai Kenangan

            Dia mencoba tersenyum dalam gelisahnya. Dia mencoba tertawa dalam kemelut hatinya. Aku memperhatikan dari jarak yang sangat dekat. Sedekat eritrosit dan pembuluhnya. Tapi dalam jarak sedekat ini pun aku tak mampu paham apa yang sebenarnya ia rasakan. Semua terasa semu dan palsu. Binar matanya yang seolah – olah ceria, senyumnya yang menyuratkan kebahagiaan, dan canda tawa yang seakan – akan tak pernah ada masalah pelik yang menimpanya. Padahal aku tahu benar, bahwa bertindak ‘seakan – akan’ itu menyakitkan. Seperti merentangkan tirai semu demi menyembunyikan kenyataan. Aku juga tak pernah mengerti mengapa keadaan seringkali memaksa seseorang untuk tunduk padanya dengan menanamkan kebohongan, membohongi diri sendiri, misalnya. Tak pernah peduli tentang apa yang akan dituai, terus berkesinambungan hingga hanya akan ada air mata dan sesak diakhir cerita. Aku sempat bertanya padanya, “apa itu cinta?” dia menjawab, “cinta itu aku. Aku yang berusaha semampuku, aku yang berjalan dengan keyakinanku, aku yang berkorban meraih semua pengharapan dan mimpi – mimpiku.”
            Sebelum aku bercerita banyak tentangnya, aku akan mendeskripsikan dia dalam pandanganku. Dia adalah seseorang yang terjebak bersama masa lalunya. Seseorang yang tetap berjalan melawan arus meski tahu harus menyerah. Bukan, dia sebenarnya tak ingin melawan arus, namun pernahkah kalian seakan dijerat untuk melanjutkan sesuatu yang tak pernah ingin kalian lakukan? Ya, itulah dia. Seseorang yang ingin berhenti mencintai tetapi ditentang oleh hatinya sendiri. Bagaimana mungkin dia bisa tahan untuk terus mencintai sementara orang yang dicintai sudah tak lagi mengarahkan tatapan padanya? Dia mencoba berandai – andai, seandainya ia dan orang itu tak pernah terpisah, seandainya ia dan orang itu bisa terus bersama hingga sekarang. Tapi semua hanya larut dalam konteks kata ‘andai’, tak pernah benar – benar terjadi. Dia mengatakan rasa seperti itu begitu menyesakkan. Seperti tanpa daya ia malah memilih untuk melanjutkan.
            Melompat dari satu hubungan ke hubungan yang lain, begitulah caranya melupakan. Sungguh sulit mengungkap kejujuran. Ternyata tak semudah mengedipkan mata untuk menyatakan yang telah sekian lama dipendam. Dia hanya bisa menyimpan, menyembunyikan, dan mengalokasikan sebagian hati dan memori otaknya hanya untuk mengingat kenangan. Sungguh, sama sekali tak ada lagi kesempatan untuk ia dan orang yang dicintainya. Saat ini dia sedang meratap karena seseorang yang pernah menguasai tangis dan tawanya telah singgah ditempat tinggalnya yang baru. Entah ia akan bahagia atau tidak, tapi kenyataan bahwa orang yang dicintainya menyukai seseorang yang lain itu benar – benar sudah menggores luka yang teramat dalam dihatinya. Dia duduk memandang jauh ke luar jendela, menghayati arti gejolak alam semesta. Menimbang – nimbang kembali bagaimana caranya agar ia dapat melupakan dan terus melupakan hingga takkan ada lagi yang tersisa. Ia berubah menjadi seseorang yang membenci kenangan. Pohon, langit, awan, angin, pegunungan, semuanya….kenangan. jika semuanya masih begitu nyata, bagaimana mungkin kenangan dapat terhapuskan?
            Wanita cenderung mengingat dan terlalu banyak mengenang apa yang telah ia lewati bersama orang yang dicintainya. Ini juga salah satu kelemahannya. Selalu melihat kebelakang saat ada seseorang yang tulus menambatkan hati padanya dan ingin menyeretnya terus lurus kedepan. Tapi hatinya terus saja menolak meski bibir dan raganya seperti mengucapkan ‘aku tlah lupa”, “aku ingin melupakan”. Tuhan, dia benar – benar membuatku bingung. Sama seperti ketika aku memikirkan bagaimana semesta ada dan seluruh isinya tercipta.