Dia mencoba tersenyum dalam
gelisahnya. Dia mencoba tertawa dalam kemelut hatinya. Aku memperhatikan dari
jarak yang sangat dekat. Sedekat eritrosit dan pembuluhnya. Tapi dalam jarak
sedekat ini pun aku tak mampu paham apa yang sebenarnya ia rasakan. Semua
terasa semu dan palsu. Binar matanya yang seolah – olah ceria, senyumnya yang
menyuratkan kebahagiaan, dan canda tawa yang seakan – akan tak pernah ada
masalah pelik yang menimpanya. Padahal aku tahu benar, bahwa bertindak ‘seakan
– akan’ itu menyakitkan. Seperti merentangkan tirai semu demi menyembunyikan
kenyataan. Aku juga tak pernah mengerti mengapa keadaan seringkali memaksa
seseorang untuk tunduk padanya dengan menanamkan kebohongan, membohongi diri
sendiri, misalnya. Tak pernah peduli tentang apa yang akan dituai, terus
berkesinambungan hingga hanya akan ada air mata dan sesak diakhir cerita. Aku sempat
bertanya padanya, “apa itu cinta?”
dia menjawab, “cinta
itu aku. Aku yang berusaha semampuku, aku yang berjalan dengan keyakinanku, aku
yang berkorban meraih semua pengharapan
dan mimpi – mimpiku.”
Sebelum aku bercerita banyak
tentangnya, aku akan mendeskripsikan dia dalam pandanganku. Dia adalah
seseorang yang terjebak bersama masa lalunya. Seseorang yang tetap berjalan
melawan arus meski tahu harus menyerah. Bukan, dia sebenarnya tak ingin melawan
arus, namun pernahkah kalian seakan dijerat untuk melanjutkan sesuatu yang tak
pernah ingin kalian lakukan? Ya, itulah dia. Seseorang yang ingin berhenti
mencintai tetapi ditentang oleh hatinya sendiri. Bagaimana mungkin dia bisa
tahan untuk terus mencintai sementara orang yang dicintai sudah tak lagi
mengarahkan tatapan padanya? Dia mencoba berandai – andai, seandainya ia dan
orang itu tak pernah terpisah, seandainya ia dan orang itu bisa terus bersama
hingga sekarang. Tapi semua hanya larut dalam konteks kata ‘andai’, tak pernah benar
– benar terjadi. Dia mengatakan rasa seperti itu begitu menyesakkan. Seperti
tanpa daya ia malah memilih
untuk melanjutkan.
Melompat dari satu hubungan ke
hubungan yang lain, begitulah caranya melupakan. Sungguh sulit mengungkap
kejujuran. Ternyata tak semudah
mengedipkan mata untuk menyatakan yang telah sekian lama dipendam. Dia hanya
bisa menyimpan, menyembunyikan, dan mengalokasikan sebagian hati dan memori
otaknya hanya untuk mengingat kenangan. Sungguh, sama sekali tak ada lagi
kesempatan untuk ia dan orang yang dicintainya. Saat ini dia sedang meratap
karena seseorang yang pernah menguasai tangis dan tawanya telah singgah
ditempat tinggalnya yang baru. Entah ia akan bahagia atau tidak, tapi kenyataan
bahwa orang yang dicintainya menyukai seseorang yang lain itu benar – benar
sudah menggores luka yang teramat dalam dihatinya. Dia duduk memandang jauh ke
luar jendela, menghayati arti gejolak alam semesta. Menimbang – nimbang kembali
bagaimana caranya agar ia dapat melupakan dan terus melupakan hingga takkan ada
lagi yang tersisa. Ia berubah menjadi seseorang yang membenci kenangan. Pohon,
langit, awan, angin, pegunungan, semuanya….kenangan. jika semuanya masih begitu nyata,
bagaimana mungkin kenangan dapat terhapuskan?
Wanita cenderung mengingat dan
terlalu banyak mengenang apa yang telah ia lewati bersama orang yang
dicintainya. Ini juga salah satu kelemahannya. Selalu melihat kebelakang saat
ada seseorang yang tulus menambatkan hati padanya dan ingin menyeretnya terus
lurus kedepan. Tapi hatinya terus saja menolak meski bibir dan raganya seperti
mengucapkan ‘aku tlah lupa”, “aku ingin melupakan”. Tuhan, dia benar – benar
membuatku bingung. Sama seperti ketika aku memikirkan bagaimana semesta ada dan
seluruh isinya tercipta.